Apakah Budaya
Proletar Itu, dan Mungkinkah Ada ?
20
November 2001 - 22:55
Setiap kelas
yang berkuasa pasti menciptakan budayanya sendiri, dan karenanya juga
menciptakan seni mereka sendiri. Sejarah telah menyaksikan adanya budaya-budaya
perbudakan dari Timur dan keantikan budaya klasik, budaya feodal Eropa zaman
pertengahan dan budaya borjuis yang saat ini memerintah dunia. Berangkat dari
sinilah terdapat pemikiran bahwa kaum proletar juga harus menciptakan budaya
dan seninya sendiri.
Pertanyaan yang
muncul ternyata tak sesederhana seperti apa yang kita lihat pertama kali.
Masyarakat dimana pemilik budak adalah kelas penguasa, bertahan dalam abad-abad
yang panjang. Begitu juga yang terjadi dengan feodalisme. Budaya borjuis, jika
kita menghitungnya mulai dari masa manifestasinya yang terbuka dan bergolak,
yaitu mulai dari periode Renaissance, telah bertahan selama lima abad, tapi
baru mencapai puncak perkembangannya mulai abad ke 19, atau lebih tepatnya
separuh abad 19. Sejarah menunjukkan bahwa formasi sebuah kebudayaan baru yang
berpusat di sekitar kelas penguasa menuntut waktu yang lumayan dan mencapai
puncaknya pada periode sebelum dekadensi politik kelas tersebut.
Dapatkah
proletar memiliki cukup waktu untuk menciptakan sebuah budaya “proletar”?
Sebagai kebalikan dari rezim perbudakan, bangsawan-bangsawan feudal, dan
borjuis, kaum proletar menganggap kediktatorannya sebagai periode transisi yang
singkat. Saat kita menolak kesemua pandangan-pandangan yang terlalu optimistik
mengenai transisi menuju sosialisme, maka kita menunjukkan bahwa periode
revolusi sosial , dalam skala dunia, tidak akan berakhir dalam hitungan bulan
ataupun tahun, tetapi berdekade-dekade, tetapi tidak sampai berabad-abd, dan
tentunya tidak dalam ribuan tahun. Bisakah kaum proletar pada saat ini
menciptakan sebuah budaya baru? Sah-sah saja jika kita meragukannya, karena
tahun-tahun revolusi akan menjadi tahun-tahun perjuangan kelas yang kejam yang
mana perusakan akan mengambil posisi yang lebih besar dibandingkan pembangunan
yang baru. Pada semua tingkatan, energi kaum proletar sendiri akan terserap
habis terutama dalam merebut kekuasaan, dalam menjaga dan memperkuatnya dan dalam
menerapkannnya pada kebutuhan-kebutuhan eksistensi yang paling mendesak dan
perjuangan lebih lanjut. Tetapi kaum proletar akan meraih tensi tertinggi dan
manifestasi terpenuhnya dalam sifat-sifat kelasnya selama periode revolusioner
ini dan ini akan berada dalam batasan-batasan sempit dimana kemungkinan
rekonstruksi budaya yang sangat terencana akan terhambat.
Di pihak lain,
ketika rezim baru ini menjadi begitu dijauhkan dari kejutan-kejutan militer dan
politik dan ketika kondisi-kondisi bagi penciptaan budaya semakin dimungkinkan,
kaum proletar akan semakin mencair ke dalam sebuah masyarakat sosialis dan akan
membebaskan dirinya sendiri dari karakter-karakter kelasnya dan karenanya
berhenti menjadi kelas proletariat. Dengan kata lain, bisa jadi tak ada
pertanyaan mengenai penciptaan sebuah budaya baru, yaitu, dari konstruksi pada
sebuah skala historis yang besar selama periode kediktatoran. Rekonstruksi
budaya, yang akan dimulai saat kebutuhan akan kediktatoran bertangan besi yang
tak pararel dalam sejarah menghilang, tidak akan memiliki karakter kelas lagi.
Ini tampaknya menggiring kita pada satu kesimpulan bahwa tak ada budaya
proletar dan bahwa tak akan ada alasan untuk menyesalinya. Kaum proletar meraih
kekuasaan dengan tujuan menghindari budaya kelas selama-lamanya dan untuk
membuat jalan bagi budaya manusia. Kita seringkali terlihat seakan-akan
melupakannya. Pembicaraan yang tak jelas mengenai budaya proletar, sebagai anti
tesa terhadap budaya borjuis, menyediakan tempat untuk identifikasi yang sangat
tidak kritis terhadap keniscayaan sejarah proletariat dan kaum borjuis. Metode
liberal murni yang dangkal dalam membuat analogi-analogi bentuk-bentuk historis
tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan Marxisme. Tidak terdapat analogi
riil antara perkembangan sejarah kaum borjuis dan kelas pekerja.
Pembangunan
kebudayaan borjuis dimulai beberapa abad sebelum mereka meraih kekuasaan negara
dalam genggaman tangannya dengan melalui serangkaian revolusi. Bahkan ketika
borjuis hanyalah warga negara kelas tiga, yang hampir kehilangan hak-haknya,
mereka memainkan bagian pertumbuhan yang terus menerus dan besar dalam semua
lapangan budaya. Ini terutama tampak jelas dalam kasus arsitektur.
Gereja-gereja Gothic tidaklah dibangun dengan tiba-tiba, dibawah denyutan inspirasi
religius.
Pembangunan
kathedral Cologne, arsitektur serta patungnya, merangkum pengalaman
arsitektural umat manusia sejak dari masa ketika hidup di gua serta
menggabungkan elemen-elemen pengalaman ini dalam sebuah gaya baru yang
mengekspresikan budaya dari masanya sendiri, yang pada analisa akhir,
mengekspresikan struktur dan tekhnik sosial periode itu. Gilda-gilda
pra-borjuis lama merupakan pembangun nyata aliran Gothic. Saat mereka bertumbuh
dan bersinar kuat, yaitu, saat semakin kaya, kaum borjuis melewati tahapan
Gothic secara sadar dan aktif dan menciptakan gaya arsitekturalnya sendiri,
bukan untuk gereja, tetapi untuk istana-istana mereka sendiri. Dengan dasar di
Gothic, arsitektur ini berbelok ke zaman kuno, terutama ke arsitektural Roma dan
kaum Moorish, dan menerapkan semuanya pada kondisi-kondisi dan
kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat kota baru, yang selanjutnya memicu adanya
Renaissance (Italia pada akhir seperempat pertama abad lima belas). Para
spesialis dapat menghitung elemen-elemen yang Renaissance ambil dari zaman kuno
dan mana yang dari Gothic dan dapat berargumen pihak mana yang lebih kuat
pengaruhnya. Tetapi Renaissance hanya dimulai saat sebuah kelas sosial baru,
yang secara kultur sudah terbentuk penuh, merasa dirinya cukup kuat untuk
keluar dari kungkungan arsitektur Gothic, untuk memandang pada seni Gothic dan
semua yang datang sebelumnya sebagai material bagi penghapusannya sendiri, dan
untuk menggunakan tekhnik masa lalu bagi tujuan-tujuan artistiknya sendiri. Ini
juga menunjuk pada semua bentuk seni lainnya, tapi dengan perbedaan, bahwa
karena fleksibilitas mereka yang lebih besar, yaitu, pada ketergantungan mereka
yang semakin kecil pada tujuan-tujuan utilitarian dan material-material, maka
seni yang “bebas” tidak menyatakan dialektika-dialektika gaya-gaya suksesif
dengan dengan logika tegas seperti arsitektur.
Dari zaman
Renaissance dan Reformasi, yang menciptakan kondisi intelektual serta politik
yang lebih memungkinkan bagi kaum borjuis dalam masyarakat feodal, sampai zaman
revolusi yang memindahkan kekuasaan pada pihak borjuis (di Prancis), terjadi
tiga atau empat abad perkembangan dalam kekuatan intelektual dan material
borjuis. Revolusi Besar Prancis dan perang-perang yang muncul darinya secara
temporer merendahkan level materi budaya. Tapi sesudahnya rezim kapitalis
menjadi terbentuk sebagai kekuatan yang “alami” dan “abadi”. Jadi proses-proses
fundamental dalam perkembangan budaya borjuis dan kristalisasinya ke dalam gaya
ditentukan oleh karakter-karakter borjuis sebagai kelas penindas dan pemilik.
Kaum borjuis tidak hanya berkembang secara material di dalam masyarakat feodal,
yaitu dengan memindahkan kekayaan yang menggoda ke dalam tangannya melalui
berbagai cara, tetapi mereka merangkul kaum intelektual ke dalam kubunya serta
menciptakan dasar budaya mereka (sekolah-sekolah, universitas, akademi, koran,
majalah) jauh sebelum mereka secara terbuka mengambil kepenguasaan negara. Kita
cukup mengingat bahwa borjuis Jerman, dengan tekhnologinya yang tak
tertandingi, filsafat, ilmu pengetahuan dan seni, mengijinkan kekuasaan negara
untuk berbaring pada tangan sebuah kelas birokratik feodal selambat-lambatnya
1918 dan memutuskan, atau lebih tepatnya, dipaksa untuk merebut kekuasaan pada
tangannya hanya pada saat dasar material dari kebudayaan Jerman mulai
terpecah-pecah.
Tetapi seseorang
bisa menjawab: membutuhkan ribuan tahun untuk membentuk seni zaman perbudakan
budak dan hanya ratusan tahun untuk menciptakan seni borjuis. Tidak bisakah,
karenanya, seni proletar diciptakan dalam waktu 10 tahun? Basis-basis tekhnis
kehidupan tidaklah sama sekali dengan masa kini dan karenanya temponya juga
berbeda. Pertanyaan tersebut, yang pada awalnya terasa meyakinkan, dalam
kenyataannya melupakan akar permasalahan. Tidak bisa diragukan, dalam
perkembangan masyarakat baru, masanya akan datang saat ilmu ekonomi, kehidupan
budaya dan seni akan menerima impuls-impuls terbesar ke depan.
Sekarang kita
hanya bisa menciptakan impian-impian tentang tempo mereka. Dalam sebuah
masyarakat yang akan menyingkirkan ketakutan dan kekhawatiran yang melemahkan
semangat mengenai roti seseorang setiap hari, yang didalamnya restauran komunal
akan menyiapkan makanan lezat, makanan berselera dan sehat untuk masyarakat
pilih, laundri-laundri komunal akan membersihkan kain-kain linen indah milik
semua orang, anak-anak, semua anak-anak, akan dipenuhi kebutuhan pangannya
dengan baik sehingga kuat dan sehat, dan mereka akan mengambil elemen-elemen
mendasar ilmu pengetahuan dan seni seperti mereka mendapatkan albumen, udara
dan kehangatan matahari, dalam sebuah masyarakat dimana listrik dan radio tidak
akan menjadi keahlian khusus bagi mereka saat ini, tetapi berasal dari sumber
kekuatan super yang tak pernah lelah dengan menekan sebuah tombol utama, di
mana tidak akan terdapat "mulut yang tak berguna," di mana keegoisan
liberal dari kekuatan adikuasa!” akan diarahkan seluruhnya pada pemahaman,
transformasi dan perbaikan alam semesta -dalam masyarakat yang demikian
pembangunan dinamis kebudayaan tak akan tertandingi oleh semua pembangunan di
masa sebelumnya. Tetapi kesemuanya hanya akan datang sesudah sebuah pendakian,
yang panjang dan sulit, yang masih menghadang kita didepan. Dan kita saat ini
terbukti sedang membicarakan periode-periode pendakian tersebut.
Tetapi tidakkah
momen saat ini dinamis? Ya, sangat betul memang. Tetapi kedinamisan ini
terpusat pada politik. Perang dan revolusi memang dinamis, tetapi dengan biaya
tekhnologi serta budaya. Adalah benar bahwa perang telah menghasilkan deretan
panjang penemuan-penemuan tekhnologi. Tetapi kemiskinan yang perang hasilkan
telah menghentikan penerapan praksis dari penemuan-penemuan ini untuk waktu
yang lama dan karenanya juga menghentikan kemungkinan keberadaan mereka dalam
kehidupan yang revolusioner. Ini menunjuk pada radio, aviasi, dan banyak
penemuan-penemuan mekanis lainnya.
Pada pihak lain,
revolusi memberikan landasan bagi adanya sebuah masyarakat baru. Tetapi ini
dilakukan dengan metode masyarakat lama, dengan perjuangan kelas, dengan
kekerasan, penghancuran dan pemunahan. Jika revolusi proletar tidak datang,
umat manusia akan tercekik dalam pertentangannya sendiri. Revolusi
menyelamatkan masyarakat dan budaya, tetapi dilakukan melalui pembedahan yang
paling kejam. Semua kekuatan aktif dikonsentrasikan ke dalam politik dan
perjuangan revolusioner, segala sesuatu yang lain didorong kembali ke dalam
latar belakangnya dan semua halangan akan dilindas. Dalam proses ini, tentu
saja terdapat pasang dan surut; komunisme militeristik memberikan tempat bagi
NEP, yang sebaliknya, dilewati melalui beberapa tahapan.
Tetapi dalam
esensinya, kediktatoran proletariat bukanlah sebuah organisasi untuk
pemproduksian budaya bagi sebuah masyarakat baru, tetapi merupakan sebuah
sistem militeristik dan revolusioner yang berjuang untuk ini. Ini tidak boleh
dilupakan. Kita berfikir bahwa sejarawan masa depan akan menempatkan titik
kulminasi masyarakat lama pada tanggal 2 Agustus 1914, saat kekuatan budaya
borjuis membiarkan dunia terjerumus ke dalam darah dan api perang
imperialistik. Awal dari sejarah baru umat manusia akan dikenang pada momen 7
November 1917.
Tahapan-tahapan
dasar perkembangan manusia yang kita percayai akan terbentuk adalah sebagai
berikut: ‘sejarah’ pra historic manusia primitif; sejarah kuno, yang
kebangkitannya didasarkan atas perbudakan; Abad-abad pertengahan, didasarkan
pada kepemilikan tanah; kapitalisme, dengan exploitasi upah bebas; dan akhirnya
masyarakat sosialis, dengan transisi ke dalam komunitas tanpa negara yang kita
harapkan tak menyakitkan. Dua puluh, tiga puluh, atau lima puluh tahun lagi
revolusi proletar dunia akan turun dalam sejarah sebagai pendakian yang
tersulit dari satu sistem ke sistem yang lain, tetapi sama sekali bukanlah
sebuah era yang independen dari budaya proletar.
Sekarang,
tahun-tahun untuk mengambil nafas dan beristirahat sejenak, beberapa ilusi
mungkin muncul dalam Republik Soviet dalam hubungannya dengan hal ini. Kita
telah menempatkan pertanyaan-pertanyaan budaya pada keteraturan hari. Dengan
memproyeksikan masalah-masalah kita sekarang pada masa depan yang jauh,
seseorang dapat berfikir sendiri mengenai deretan tahun-tahun yang panjang
menuju budaya proletar. Tetapi tidak peduli sepenting dan seurgen apapun
pembangunan budaya kita nantinya, ini sepenuhnya didominasi oleh pendekatan revolusi
Eropa dan dunia. Kita, seperti sebelumnya, merupakan prajurit-prajurit dalam
sebuah perjalanan panjang. Kita sedang berkemah barang sehari. Pakaian kita
harus dicuci, rambut kita harus dipangkas dan disisir, dan, yang terpenting
dari kesemuanya, senapan kita harus dibersihkan dan diminyaki. Keseluruhan
ekonomi dan kerja-kerja budaya saat ini tidak lebih penting dari penyerahan
diri kita ke dalam dua pertempuran dan dua perjuangan. Pertempuran-pertempuran
prinsipil menghadang didepan, mungkin tidak terlalu lama lagi.
Masa kita
belumlah sebuah masa bagi kebudayaan baru, tetapi hanya tangga menuju kesana.
Kita harus, pertama kali, merebut kepemilikan, secara politis, elemen
terpenting budaya lama, sampai satu tingkatan, setidaknya, mampu untuk mengahaluskan
jalan bagi sebuah kebudayaan baru. should Ini terutama menjadi jelas ketika
seseorang menganggapnya seperti seharusnya, yaitu dalam karakter-karakter
internasionalnya. Kaum proletar bukanlah kelas yang menguasai kepemilikan. Ini
sendiri sangat menjauhkan kaum proletar dari kemungkinan untuk menguasai
elemen-elemen budaya borjuis yang telah memasuki inventarisasi umat manusia
untuk selama-lamanya. Dalam pengertian tertentu, bisa dibenarkan jika seseorang
berkata bahwa kaum proletar juga, setidaknya proletariat Eropa, memiliki masa
perubahannya sendiri. Era tersebut muncul pada pertengahan kedua abad 19 saat,
tanpa melakukan sebuah tindakan terhadap kekuasaan negara secara langsung,
mereka meraih kondisi-kondisi legal perubahan yang lebih bisa diterima di bawah
sistem borjuis.
Tetapi, yang
pertama kali harus diperhatikan, periode ‘reformasi’ ini (parlementarianisme
dan perubahan sosial), yang utamanya berhubungan dengan periode sejarah
Internasionalisme Kedua, hanya memberikan kaum proletar waktu yang demikian
panjang seperti halnya apa yang mereka berikan pada borjuis di masa sebelumnya.
Yang kedua, kaum proletar, selama periode persiapan ini, tidak semuanya menjadi
sebuah kelas yang lebih makmur dan tidak juga mengkonsentrasikan kekuatan
material pada tangannya. Sebaliknya, dari cara pandang budaya dan sosial,
mereka terus menerus menjadi semakin tidak beruntung. Kaum borjuis mulai
berkuasa dengan dipersenjatai secara penuh oleh kebudayaan di masanya. Kaum
proletar, pada pihak lain, berkuasa dengan dipersenjatai secara penuh dengan
kebutuhan yang akut akan penguasaan budaya. Permasalahan yang dihadapi
proletariat yang telah merebut kekuasaan terdiri dari, pertama, bagaimana
menggenggam aparatur-aparatur budaya -industri, sekolah, publikasi, pers, teater,
dan lain sebagainya.-yang tidak berpihak padanya sebelumnya, dan karenanya
membuka lintasan bagi budaya mereka sendiri.
Tugas kita di
Rusia diperumit oleh kemiskinan tradisi budaya secara menyeluruh dan oleh
penghancuran material yang dikarenakan oleh kejadian-kejadian pada dekade
terakhir. Setelah pengambilan kekuasaan dan sesudah hampir sembilan tahun
perjuangan untuk retensi dan konsolidasi, kaum proletar kita dipaksa untuk
mengerahkan seluruh energinya pada penciptaan kondisi-kondisi paling mendasar dari
eksisensi material dan penciptaan hubungan dengan ABC budaya -ABC dalam
pengertian kata yang sesungguhnya dan literal. Bukannya untuk tujuan kosong
jika kita membebani diri kita sendiri dengan tugas memiliki kesusastraan
universal pada peringatan tahun kesepuluh rezim Soviet.
Mungkin
seseorang keberatan bahwa saya menaruh konsep budaya proletar dalam sebuah
pengertian yang terlalu luas. Mungkin tak kita temukan budaya proletar secara
penuh dan lengkap, tapi kelas pekerja bisa memberi tanda keberadaannya dalam
budaya sebelum mereka luruh dalam sebuah masyarakat komunis. Keberatan seperti
demikian pertama kali harus di daftar sebagai sebuah kemunduran serius dari
sebuah posisi dimana budaya proletar dimungkinkan kedatangannya. Tidak perlu
dipertanyakan bahwa kaum proletar, di masa kediktatorannya, akan mensinyalkan
keberadaannya pada lapangan kebudayaan. Tetapi kedatangan budaya proletar
masihlah jauh, dalam pengertian jika yang dimaksud sebagai budaya adalah sistem
pengetahuan yang harmonis dan sudah berkembang dan seni dalam keseluruhan
lapangan kerja spiritual dan material. Dikuasainya baca tulis dan aritmetika
oleh sepuluh juta manusia dalam sejarah untuk pertama kali adalah sebuah fakta
budaya baru yang betul-betul luar biasa. Esensi budaya baru tidak akan lagi
berkutat dalam budaya aristokratik yang hanya dimengerti oleh sebuah kelompok
minoritas dengan privilese, tetapi sebuah budaya massa, sebuah budaya yang
universal dan populer. Kwantitas akan bergerak menuju kwalitas; dengan
pertumbuhan kwantitas budaya akan datang sebuah kenaikan dalam level dan
perubahan dalam karakternya.
Tetapi proses
ini akan berkembang hanya melalui serangkaian tahapan-tahapan historis. Dalam
tingkatan dimana proses tersebut berhasil dengan baik, ini akan melemahkan
karakter kelas kaum proletar dan dalam perjalanannya ini akan menghapus basis
budaya proletar.
Bagaimana dengan
tingkatan teratas dari kelas pekerja? Bagaimana dengan garda depan
revolusionernya? Tidak bisakah seseorang berkata bahwa sebuah perkembangan
budaya proletar sedang terjadi saat ini meskipun dalam lingkup yang sempit?
Bukankah kita mempunyai Akademi Sosialis? Profesor merah? Beberapa orang salah
dalam menaruh pertanyaan ini dalam pengertian yang demikian yang abstrak. Ide
seperti ini seolah-olah mengatakan bahwa adalah mungkin untuk menciptakan
budaya proletar dengan metode-metode laboratorium.
Faktanya,
tekstur budaya terjalin pada pada titik-titik di mana hubungan-hubungan dan
interaksi-interaksi intelegensia sebuah kelas dan kelas lain bertemu. Budaya borjuis-tekhnis,
politis, filosofis dan artistik, dibangun melalui interaksi borjuis dan para
penemu-penemu, pemimpin-pemimpin, pemikir-pemikir dan penulis-penulis puisinya.
Pembaca menciptakan penulis dan penulis menciptakan pembaca. Ini memang benar
dalam tingkatan proletariat yang lebih besar, karena ekonomi, politik dan
budayanya hanya bisa dibangun di atas dasar aktivitas kreatif massa.
Tugas utama kaum
intelektual proletar dalam waktu mendatang bukanlah pembentukan sebuah budaya
baru secara abstrak tanpa memperhitungkan ketiadaan dasar bagi ini semua,
tetapi lebih pada penentuan budaya secara tepat, yaitu dalam bentuk penanaman
yang kritis, berencana dan sistematis kepada massa yang terbelakang mengenai
elemen-elemen esensial budaya yang sudah ada. Mustahil untuk menciptakan sebuah
budaya kelas dibelakang punggung sebuah kelas. Dan untuk membangun kebudayaan
melalui kerjasama dengan kelas pekerja dan dalam kontak yang dekat dengan
kemunculan historisnya secara umum, seseorang harus membangun sosialisme,
meskipun masih secara kasar. Dalam proses ini, karakteristik-karakteristik
kelas dalam masyarakat tidak akan bertambah kuat, tetapi sebaliknya akan
melemah dan menghilang dengan perbandingan langsung dengan kesuksesan revolusi.
Signifikansi
yang membebaskan dari kediktatoran proletariat terletak pada fakta bahwa
ketemporeran kediktatoran tersebut sebagai sebuah alat untuk membersihkan jalan
dan mempersiapkan fundamen sebuah masyarakat tanpa kelas dan sebuah budaya yang
didasarkan pada solidaritas.
Untuk
menjelaskan ide tentang periode penentuan budaya dalam perkembangan kelas
pekerja secara lebih konkret, marilah kita mempertimbangkan suksesi historis
bukan dari kelas, tapi generasi ke generasi. Kesinambungan mereka
terekspresikan dalam fakta bahwa setiap generasi, dalam sebuah masyarakat yang
selalu berkembang dan bukannya sebuah masyarakat yang dekaden, menyumbangkan
akumulasi masa lalu budaya. Tetapi sebelum mereka melakukannya, setiap generasi
baru harus melalui sebuah tahapan pembelajaran. Mereka membenahi budaya yang
sudah ada dan mentransformasikannya dengan cara yang dia miliki, membuatnya
sedikit banyak berbeda dari generasi sebelumnya. Pembenahan ini belumlah bisa
disebut sebagai kreasi baru karena ini bukanlah penciptaaan nilai-nilai budaya
baru tetapi hanya sebuah premis baginya. Pada sebuah tingkatan, apa yang
dikatakan tersebut bisa juga diterapkan terhadap takdir massa pekerja yang
bangkit menuju pengadaan waktu kerja kreatif. Seseorang harus membereskannya
sebelum kaum proletar melampaui tahapan pembelajaran budaya, sebelum mereka
berhenti menjadi proletariat.
Marilah kita
juga tidak melupakan bahwa bagian teratas dari borjuis telah melewati
pembelajaran budayanya di bawah atap masyarakat feudal. Saat masih berada dalam
jaring masyarakat feudal, mereka secara budaya telah menyalip kelas berkuasa
yang lama dan menjadi pemimpin budaya sebelum mereka meraih kekuasaan. Ini
berbeda dengan kaum proletar secara umum dan dengan kaum proletar Rusia secara
khusus. Kaum proletar dipaksa untuk meraih kekuasaan sebelum mereka membenahi
elemen-elemen mendasar kebudayaan borjuis; mereka dipaksa untuk menggulingkan
masyarakat borjuis dengan kekerasan revolusioner dengan alasan utama bahwa
masyarakat borjuis tidak mengijinkan mereka untuk mengakses budaya. Kelas
pekerja berjuang untuk mentransformasikan aparat-aparat negara menjadi sebuah
pompa yang kuat untuk memuaskan kedahagaan budaya dari massa. Ini merupakan
tugas penting sejarah yang tak bisa diukur. Tetapi, jika seseorang tidak
menggunakan kata-kata secara benar, ini menunjukkan belum terjadinya penciptaan
sebuah budaya proletar yang istimewa. 'Budaya proletar,' "seni
proletar," dan sebagainya, dalam tiga dari sepuluh kasus dipergunakan
secara tidak kritis untuk mendesain budaya dan seni dari masyarakat komunis
yang akan datang, dalam dua dari sepuluh kasus menunjukkan fakta bahwa kelompok
proletar istimewa hanya mempelajari elemen-elemen pra-budaya proletar secara
terpisah-pisah, dan akhirnya, dalam lima dari sepuluh kasus, ini menunjukkan
keberadaan konsep-konsep dan kata-kata yang tidak terarah, yang darinya
seseorang tidak bisa mengetahui awal dan akhirnya.
Berikut ini
adalah contoh yang mutakhir bahwa satu dari enam ratus terma ‘budaya proletar’
yang digunakan secara membahayakan, tidak kritis, dan kurang hati-hati.
"Basis ekonomi dan sistemnya yang saling berhubungan dalam supra
struktur," tulis Sizoy, "membentuk karakteristik-karakteristik sebuah
masa (feodal, borjuis atau proletar)." Karenanya periode budaya proletar
di sini ditempatkan pada landasan yang sama seperti yang dimiliki oleh kaum
borjuis. Padahal yang disebut di sini sebagai periode proletariat hanyalah
sebuah transisi pendek dari sebuah sistem sosio-kultural ke sistem yang lain,
dari kapitalisme menuju sosialisme. Pembentukan rezim borjuis juga diawali
dengan sebuah masa transisional. Revolusi borjuis mencoba dengan sukses untuk
menyempurnakan dominasi borjuis, sedangkan revolusi proletar bertujuan
melikuidasi proletariat sendiri sebagai sebuah kelas dalam periode sesingkat
mungkin. Panjangnya periode ini bergantung seluruhnya atas kesuksesan revolusi.
Tidakkah menakjubkan bahwa seseorang bisa melupakannya dan menempatkan periode
budaya proletar pada landasan yang sama dengan budaya feodal dan borjuis?
Tapi jika
seperti demikian ceritanya, tidakkah ini berati kita tak memiliki ilmu
pengetahuan yang bersifat proletar? Tidakkah kita beranggapan bahwa konsepsi
materialis mengenai sejarah dan kritisisme ekonomi politik Marxis mewakili
elemen-elemen ilmiah yang tak berbobot mengenai budaya proletar? Tentu saja,
konsepsi materialis mengenai sejarah dan teori pekerja mengenai nilai memiliki
signifikansi luar biasa dalam mempersenjatai proletar sebagai kelas dan bagi
ilmu pengetahuan secara umum. Terdapat ilmu pengetahuan yang lebih benar dalam
Manifesto Partai Komunis dibandingkan dengan seluruh perpustakaan-perpustakaan
yang berisi kompilasi, spekulasi, dan pemalsuan filosofis historis dan sejarah
oleh para profesor. Tapi bisakah seseorang mengatakan bahwa Marxisme sendiri
mewakili sebuah produk dari budaya proletar? Dan bisakah seseorang mengatakan
bahwa kita telah menggunakan Marxisme, tidak hanya dalam pertarungan politik,
tapi dalam persoalan-persoalan ilmiah juga?
Marx dan Engels
muncul dari lingkungan demokrasi borjuis kecil dan, tentu saja, dibesarkan
dalam budayanya dan bukannya dalam budaya proletar. Jika saja tidak ada kelas
pekerja, dengan aksi, perjuangan, penderitaan, dan pemberontakannya, tentu saja
tidak terdapat komunisme ilmiah, karena tidak akan ada kebutuhan sejarah
atasnya. Tetapi teori ini dibentuk penuh dalam dasar budaya borjuis, baik
politis maupun ilmiah, meski teori tersebut mendeklarasikan perlawanannya untuk
mengakhiri budaya tersebut. Di bawah kontradiksi-kontradiksi kapitalistik,
pemikiran dari demokrasi borjuis yang universal tersebut, dari wakil-wakilnya
yang paling berani, jujur, serta melihat kedepan, mencuat ke atas sebagai
penolakan yang hebat, yang dilengkapi dengan seluruh senjata-senjata kritis
yang berasal dari ilmu pengetahuan borjuis. Seperti itulah asal mula Marxisme.
Kaum proletar
menemukan senjatanya dalam Marxisme bukan secara langsung begitu saja; bahkan
sampai saat ini kesemuanya belumlah usai. Saat ini senjata tersebut secara
eksklusif dan utama hanya digunakan bagi tujuan-tujuan politis saja. Penerapan
yang realistis dan luas, serta pengembangan metodologis dari dialektika
materialisme secara penuh, tetap berada di masa depan. Hanya dalam sebuah
masyarakat sosialislah Marxisme tidak hanya menjadi senjata perjuangan politis
tetapi juga menjadi sebuah alat untuk penciptaan ilmiah, sebuah elemen dan
instrumen terpenting bagi budaya spiritual.
Semua ilmu
pengetahuan, dalam tingkatann yang lebih besar atau lebih kecil, secara tidak
terbantahkan merefleksikan tendensi-tendensi dari kelas penguasa. Semakin dekat
ilmu pengetahuan melekatkan dirinya pada tugas praksis menaklukkan alam
(fisika, kimia, ilmu alam secara umum), semakin besar kontribusi kemaanusiaan
dan non kelasnya. Semakin dalam ilmu pengetahuan dihubungkan dengan mekanisme
sosial penghisapan (ekonomi politis), atau semakin abstrak ilmu pengetahuan
mengeneralisasi seluruh pengalaman umat manusia (psikologi, bukan dalam
pengertian fisiologis eksperimentalnya tetapi dalam pengertian filosofis),
semakin mereka mematuhi egotisme kelas dari kaum borjuis, maka semakin kecil
kontribusinya pada ukuran umum pengetahuan manusia. Dalam wilayah ilmu
pengetahuan eksperimental, terdapat beberapa tingkatan-tingkatan integritas dan
obyektifitas ilmiah, bergantung pada lingkup generalisasi yang dibuat. Sesuai
dengan hukum umum, tendensi-tendensi borjuis telah menemukan sebuah tempat yang
jauh lebih bebas bagi mereka dalam area filsafat metodologis yang lebih tinggi,
atau Weltanschauung. Karena itu diperlukan untuk membersihkan struktur ilmu
pengetahuan dari bawah ke atas, atau lebih tepatnya, dari atas ke bawah, karena
seseorang harus memulainya dari cerita-cerita yang di atas.
Tetapi terlalu
naïf untuk berfikir bahwa kaum proletar harus merubah secara kritis seluruh
ilmu pengetahuan yang diwarisi dari borjuis sebelum menerapkannya pada
rekonstruksi sosialis. Ini sama dengan mengatakan apa yang menjadi semangat
utopian moralis: sebelum membangun sebuah masyarakat baru, kaum proletar harus
membangkitkan etika komunis. Dalam faktanya, kaum proletar akan merekonstruksi etika
seperti halnya ilmu pengetahuan secara radikal, tetapi mereka akan melakukannya
sesudah mereka membangun sebuah masyarakat baru, meskipun secara kasar.
Tetapi tidakkah
kita terjebak dalam sebuah lingkaran setan? Bagaimana seseorang membangun
sebuah masyarakat baru dengan bantuan ilmu pengetahuan dan moral yang lama? Di
sinilah kita harus menerapkan sedikit dialektika, dialektika yang saat ini kita
taruh secara tidak ekonomis dalam puisi-puisi berlirik, pembukuan di kantor,
sup kubis dan bubur kita. Untuk memulai bekerja, garda depan proletar
membutuhkan titik-titik keberangkatan tertentu, metode-metode ilmiah tertentu
yang membebaskan pikiran dari penindasan ideologis kaum borjuis; saat ini
mereka memang sedang berusaha menguasainya, sebagian sudah menguasainya. Mereka
menguji metode dasarnya dalam banyak pertempuran, dan dalam kondisi yang
beragam. Tapi ini masihlah jauh dari apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan
proletar. Sebuah kelas revolusioner tidak bisa menghentikan perjuangannya hanya
karena partai belum memutuskan apakah mereka bisa menerima atau tidak hipotesa
mengenai elektron and ions, teori psikoanalisa dari Freud, penemuan-penemuan
matematis baru tentang relativitas, dan sebaginya. Benar memang, setelah
merebut kekuasaan, kaum proletar akan menemukan kesempatan yang lebih besar
dalam menguasai dan merevisi ilmu pengetahuan. Ini lebih mudah untuk dikatakan
dibanding untuk dilakukan.
Kaum proletar
tidak bisa menghentikan rekonstruksi sosialis hingga waktu dimana
ilmuwan-ilmuwan baru mereka, kebanyakan sekarang masih berlari-lari dengan
celana pendek, akan menguji dan membersihkan semua instrumen dan semua
channel-channel pengetahuan. Kaum proletar menolak apa yang jelas-jelas tidak
perlu, salah dan reaksioner, dan dalam berbagai bidang rekonstruksi tersebut
mereka memanfaatkan metode dan kesimpulan ilmu pengetahuan masa kini, mengambil
persentase muatan reaksioner yang terkandung dalamnya sesuai dengan kebutuhan.
Hasil-hasil praktis akan menjustifikasi mereka sendiri secara umum dan menyeluruh,
karena penggunaan sperti itu jika dikontrol dengan sebuah tujuan sosialis akan
mengatur dan menseleksi metode-metode serta kesimpulan-kesimpulan teori
tersebut secara gradual. Dan pada waktu itu akan tumbuh ilmuawan-ilmuwan yang
dididik dalam kondisi yang baru. Kaum proletar harus membawa rekonstruksi
sosialnya pada sebuah tingkatan yang cukup tinggi, yaitu, memelihara keamanan
dan kepuasan masyarakat secara budaya sebelum menjalankan pemurnian umum ilmu
penegetahuan dari atas ke bawah. Saya tidak bermaksud menyatakan sesuatu yang
menentang karya-karya kritisisme Marxis, yang dalam diskusi-diskusi kecil dan
seminar-seminar banyak membantu berbagai bidang pengetahuan. Karya tersebut
memang dibutuhkan dan bermanfaat. Ini harus dikembangkan dan diperdalam dalam
semua bidang. Tapi seseorang harus mengelola cara pemikiran Marxis dalam
menghitung keseriusan tertentu dari percobaan-percobaan tersebut dalam
hubungannya dengan skala umum kerja-kerja historis kita.
Apakah apa yang
disebutkan diatas menafikkan kemungkinan bahwa bisa saja dalam periode
kediktatoran revolusioner proletariat muncul ilmuwan-ilmuwan hebat,
penemu-penemu, dramawan-dramawan dan penulis-penulis puisi yang berasal dari
kalangan proletariat? Tidak sama sekali. Tetapi akan menjadi sangat tidak
bijaksana untuk melabeli nama budaya proletar bahkan pada sebuah prestasi yang
paling bernilai dari wakil-wakil individu dari kelas pekerja. Seseorang tidak
bisa begitu saja membelokkan konsep budaya pada perubahan yang dialami individu
dalam kehidupan sehari-harinya dan menentukan kesuksesan sebuah budaya kelas
dengan paspor proletar yang dimiliki penemu-penemu dan penulis-penulis puisi
individual.
Budaya merupakan
total organik pengetahuan dan kapasitas yang mengkarakterisasikan keseluruhan
masyarakat, atau setidaknya kelas penguasa. Ini merengkuh dan mempenetrasi
semua bidang kerja manusia dan menyatukannya dalam sebuah sistem. Prestasi
individu muncul diatas level ini dan mengangkatnya secara bertahap. Apakah
interelasi organik seperti demikian ada dalam puisi proletar dan karya-karya
budaya kelas pekerja saat ini secara utuh? Cukup beralasan untuk menjawab
tidak. Para pekerja atau kelompok pekerja sedang membangun kontak dengan seni
yang diciptakan intelektual-intelektual borjuis dan memanfaatkan tekhniknya,
untuk saat ini, dalam sikap yang cukup ekletik. Tetapi apakah ini semata-mata
demi tujuan memberikan ekspresi pada dunia internal proletar mereka sendiri?
Kenyataan menunjukkan bahwa ini jauh dari tujuan seperti itu. Karya penulis
puisi proletar lemah dalam hal kwalitas organik, yang hanya dihasilkan oleh
interaksi awal antara seni dan perkembangan budaya secara umum. Kita mempunyai
karya-karya literatur kaum proletar yang berbakat dan pilih tanding, tetapi itu
bukanlah literatur proletar. Karya itu bagaimanapun juga tetap dapat
membuktikan berseminya budaya itu.
Adalah mungkin
bahwa banyak bibit, akar, dan sumber akan terungkap dalam karya generasi masa
kini yang darinya anak cucu kita menelusuri kembali sektor-sektor budaya masa
depan yang beragam, seperti halnya sejarawan seni kita saat ini menelusuri
kembali teater Ibsen dalam misteri gereja, atau impresionisme dan kubisme dalam
lukisan-lukisan para rahib. Dalam ekonomi seni, sama halnya dengan ekonomi
alam, tak ada yang hilang, dan kesemuaya terhubung secara besar.
Tapi secara
faktual, konkrit, dan vital karya mutakhir para penulis puisi yang tumbuh dari
kaum proletar kita tidak berkembang sama sekali, menyangkut hubungannya dengan
rencana yang berada di belakang proses penyiapan kondisi-kondisi bagi budaya
sosialis mendatang, yaitu proses peningkatan derajat massa ...
revolusi.......!!
BalasHapus