Selasa, 15 Mei 2012


makalah tanam paksa


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur senantiasa kami haturkan selalu kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa yang telah memberikan kami  kesempatan dalam menyusun dan menulis presentasi tentang “TANAM PAKSA PADA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA.

Presentasi ini sengaja kami susun secara terperinci dan kami jelaskan secara terurai dan mengarah dan sesuai dengan kenyataannya serta mendalam dan mengacu dan mengaitkan pada sumber-sumber pada tanam paksa di Indonesia khususnya yang terdapat pada Pulau Sumatera.

Pada setiap materi yang kami susun dan yang kami bentuk dengan dilengkapi penjelasan-penjelasan secara terperinci dan mendetail serta pemberian info kita bersama agar dapat lebih dimengerti dan dipahami oleh seluruh pendengar dan pembaca presentasi ini.

Kami sebagai penyusun dan penulis presentasi ini sangat mengharapkan agar kiranya presentasi ini dapat membantu para pendengar dan pembaca untuk lebih mengerti tentang masalah tanam paksa pada zaman penjajahan Belanda khusunya yang terdapat pada Pulau Sumatera.

Kami sebagai penulis dan penyusun presentasi ini tidak membutuhakn pujian,hinaan ataupun sanjungan dari para pembaca ataupun pendengar tetapi kami sangat mengharapkan kritik,saran,serta opini Anda sekalian yang bersifat membangun yang pastinya dapat Anda salurkan kepda kami baik melalui komunikasi ataupun tatap muka langsung , agar kiranya  lain kali apabila kami berkesempatan pada edisi penyusunan berikutnya dapat mencapai sesuai yang Anda maksudkan dan mencapai hasil yang maksimal dan memuaskan.Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Rantau Kasai,9 Desember 2009
                                                         

TANAM PAKSA PADA ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA
1.Penjelasan Tentang Sistem Tanam Paksa

          Berdasarkan konvensi London pada tahun 1814 yang isinya bahwasanya wilayah Belnda dulunya harus dikembalikan kembali kepada Belanda termasuk Indonesia harus kembali berada pada dibawah kekuasaan Belanda.Pemerintah Belanda berkuasa berkuasa kembali atas Indonesia dan meebutnya kembali kekuasaan yang ada di Indonesia meskipun kondisi ekonomi Negara Belanda masih sangat lemah karena kas keuangannya dalam keadaan kosong.Lemahnya perekonomian Belanda pada saat itu diakibatkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.Adanya pengeluaran biaya perang dalam menghadapi perlawanan rakyat
   daerah di Indonesia seperti Perang Diponegoro (1825-1830) dan perang
    Paderi (1821-1837).
2.Pemerintah Belanda banyak mengeluarkan biaya perang untuk menghadapi
   pemberontakan Belgia yang ingin melepaskan diri untuk merdeka.
3.Badan Usaha Dagang Belanda (Nederlandsche Handels Maatschapipij)
   yang  didirikan pada tahun 1824 gagal menghasilkan keuntungan bagi
   negara Belanda.
4.Belanda terlilit hutang luar negeri sehingga banyak biaya yang harus
   di keluarkan untuk membayar hutang.

          Pada tahun 1830,Pemerintah Belanda mengangkat Johannes Van Den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru.Ia diserahi tugas meyelamatkan keuangan Belanda dengan cara menarik masukan sebanyak mungkin dari rakyat Indonesia.Van Den Bosch kemudian mengeluarkan gagasan yang terkenal dengan nama  Cultuurstelsel  atau sistem tanam paksa.Pemberlakuan sistem tanam paksa tersebut bertujuan untuk memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat.Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial mengerahkan tenaga rakyat untuk menanam berbagai jenis jenis tanaman.Sistem tanam paksa ini,diharapkan dapat mengumpulkan sejumlah tanamn yang akan didistribusikan kepasaran Eropa atau Amerika.Dalam kegiatan ini,pihak swasta juga diperlibatkan dalam kegiatan perlayaran dan perdagangan.
Dalam menjalankan sistem  tanam paksa,Pemerintah Belanda mengeluarkan aturan-aturan yang dimuat dalam lembaran-lembaran Negara atau Staatblad atau semacam Undang-Undang yaitu NO.22 tahun 1834.Aturan –aturan ini berbunyi sebagai berikut:
1.Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
   menyediakan  sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman yang
   laku dijual pasaran Eropa.
2.Tanah yang ditanami tidak melebihi tidak melebihi seperlima dari tanah
   pertanian  milik penduduk.
3.Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tidak boleh melebihi pekerjaan
   yang dibutuhkan dalam menanam padi.
4.Tanah yang disediakan untuik menanam tanaman dibebaskan dari
   pembayaran  pajak.
5.Hasil tanaman harus diserahkan kepada Pemerintah Belanda sedangakan
   kelebihan  hasil tanaman dari jumlah pajak yang terbayar,akan dibayarkan
   kembali kepada rakyat.
6.Kegagalan panen menjadi tanggungan dari Pemerintah Belanda.
7.Mereka yang tidak memiliki tanah harus  menjadi pekerja diperkebunan
   Pemerintah lebih dari 66 hari.
8.Penggarapan penanaman dibawah pengawasan langsung kepala kepala
   pribumi.Pegawai-pegawai Eropa mengawasi secara umum jalannya
   penggarapan sampai pengangkutannya.

          Selain itu,Van Den Bosch juga menyusun program-program sebagai
berikut:
1.Menghapus sistem  sewa tanah karena  dianggap sulit dan tidak efisien.
2.Mengganti sistem  tanam bebas menjadi tanam  wajib dengan jenis-jenis
   tanaman yang telah ditentukan oleh Pemerintah.  
3.Menghidupkan kembali program kerja wajib untuk menunjang program
   tanam wajib.
Berdasarkan peraturan-peraturan diatas,maka tanam paksa sebenarnya tidak memberatkan bagi rakyat,bahkan sebagian rakyat mendukung sistem tanam paksa ini terutama mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan sawah ataupun perkebunan karena mereka mendapatkan pekerjaan dan sekaligus dapat bekerja.Akan tetapi,tanam paksa ternyata penderitaan yang sangat luar biasa terhadap rakyat karena penyimpangan-penyimpangan tanam paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda,yaitu sebagai berikut:
1.Tanah yang diserahkan petani lebih dari seperlima
2.Tanah petani yang diserahkan untuk tanam paksa ternyata tidak bebas
   pajak bahkan diberbagai daerah pajak lebih tinggi dari sebelumnya seperti
   di Priangan atau Jawa Barat.
3.Mereka yang tidak memiliki tanah ternyata bekerja diperkebunan
   Pemerintah lebih dari seperlima tahun lamanya.
4.Kegagalan panen apapun penyebabnya ternyata menjadi tanggung jawab
   petani.
5.Waktu pekerjaan tanam paksa melebihi waktu tanam padi.
6.Kelebihan hasil panen tidak dikembalikan kepada rakyat.
Penyimpangan-penyimpangan aturan tanam paksa diatas,terjadi karena adanya cultuur  procenten yaitu hadiah atau bonus bagi pelaksana sistem tanam paksa yang dapat menyerahkan hasil tanaman melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.Oleh karena itu,para Bupati dan kepala desa menyerahkan hasil tanaman yang sebanyak-banyaknya.Mereka memaksa penduduk desa untuk menanam melebihi ketentuan yang berlaku.Selain itu,rakyat juga dibebani pekerjaan yang lebih lama dari pada waktu yang telah ditentukan.Bagi rakyat yang dianggap tidak mematuhi kehendak para petugas akan dijatuhi hukuman.Kalaupun tidak dihukum mereka diancam akan dilaporkan kepada Pemerintah Belanda sebagai pembangkang dan pemberontak.
Dengan kebijakan tanam paksa,Pemerintah Kolonial Belanda ingin melatih rakyat untuk mengenal jenis-jenis tanaman tropis yang laku dipasaran dunia,terutama kopi,gula,dan nila(indigo).Dupuhal lain,untuk menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun Bupati dan kepala desa setempat menunaikan tugasnya dengan baik,selain mendapatkan gaji,Pemerintah Belanda juga memberikan perangsang,yaitu cultuur procenten(hadiah).
   Cultuur procenten merupakan suatu program yang sengaja diberikan dengan dibentuk untuk memberikan hadiah kepada para Bupati ataupun kepala desa dalam menjalankan tugasnya.Tercetusnya cultuur procenten adalah Belanda menginginkan lebih maksimal hasil dari tanam paksa sehingga diberikan perangsang(cultuur procenten) untuk memikat hati para pengawas didaerah-daerah agar dapat membuat hasil lebih dari hasil yang sudah ditetapkan.Hadiah atau cultuur procenten yang biasa diberikan adalah harta kekayaan dan jabatan.
Sistem tanam paksa berlaku selama tahun 1830-1840 telah membuat volume ekspor gula,kopi,dan nila meningkat pesat rata-rata lebih dari sepuluh kali lipat.Sebagai contoh,ekspor gula tahun 1830 berjumlah 1.558.000 golden lalu pada tahun 1840 menjadi 13.782.000 golden.Antara tahun 1832 hingga 1867 saldo untung Belanda mencapai 967.000.000  golden.
2.Wilayah-Wilayah Indonesia yang  Dipengaruhi Sistem Tanam Paksa
1.Pulau Jawa
          Pulau Jawa merupakan salah satu target utama sistem  tanam paksa karena dipulau Jawa lah terdapat sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat besar yang pastinya dapat menunjang potensi untuk mengisi kekosongan kas Negara Belanda yang sedang kososng melompong. Berikut ini beberapa daerah di Pulau Jawa yang menjadi tempat eksekusi sistem tanam paksa.
A.Jawa Tengah dan Jawa Timur
          Salah satu potensi yang sangat besar untuk daerah ini yaitu pemanfaatan lahan untuk ditanami oleh tanaman gula,dan merupakan daerah pengekspor gula pada waktu itu.Selain itu,tanaman yang menjanjikan adalah teh dan tembakau untuk dijual dipasaran Eropa dan Belanda berhasil mengeruk dan menarik keuntungan yang sebanyak-banyaknya sehingga kas Belanda terisi bahkan berlebih sehingga dimanfaatkan untuk memperkaya diri tanpa harus memperhatikan nasib bangsa Indonesia yang semakin lama semakin terpuruk serta terlindas oleh roda tanam paksa yang ditetapkan oleh Belanda.
B.Jawa Barat dan Banten
          Penghasilan terbesar dari daerah ini adalah kopinya yang sangat terkenal dan salah satu tambang emas bagi Belanda yang bertujuan menarik keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa Indonesia.Selain itu,tanaman lain yang dapat  menunjang kualitas dari daerah ini adalah teh  dan tembakau.
INFO KITA BERSAMA
Kopi diperkenalkan keJawa oleh VOC pada awal abad ke-18 ,tidak diperlukan waktu lama bagi para pemimpin dan rakyat Priangan (Jawa Barat),menyadari bahwa kopi mempunyai kemungkinan baik.Dalam 20 tahun,Priangan  menghasilkan kopi sebanyak Yemen,tempat asal tanaman ini.VOC tidak mengijinkan penduduk menjual kopin ini kesiapun juga,kecuali kepada VOC untuk alasan komersial VOC  merusak semua tanaman kopi dibagian Jawa Tengah.Meski demikian,pada akhir abad ke-18,Jawa merupakan penghasil kopi terbesar didunia.
 
2.Pulau Sumatera
          Pulau Sumatera merupakan salah satu Pulau kdua yang sangat menjadi target utama Belanda dalam menjalankan praktek system tanam paksa.Berikut ini,merupakan daerah-daerah yang terkena dampak sistem tanam paksa:
1.Sumatera Utara
          Keterlibatan Belanda dalam kegiatan ekonomi di  Sumatera Utara diawali oleh Jacobus Nienhuys.Daerah perkebunan yaitu seperti Deli Serdang yang pada tahun 1865 merupakan daerah penghasil tembakau sebesar 189 bal.Belanda pun memperoleh keuntungan besar.Selain itu,daerah lainnya yaitu seperti Asahan atau Kisaran yang merupakan penghasil karet,sehingga merupakan pengantar ekspor Indonesia dalam hal karet yang merupakan penghasil karet yang mumpuni atau bagus pada saat itu.
2.Riau
          Walaupun tidak terlalu terkenal namun ada  daerah penghasil yang juga terlibat sistem tanam paksa yaitu seperti di Siak  Sri Indrapura yang merupakan penghasil sawit dan karet walaupun tidak terlalu besar jumlahnya karena pada saat itu,Sultan Siak yaitu Sultan Syarif Khosim  1 dan Sultan Syarif Khosim 11 menolak sistem tanam paksa pada rakyatnya.

3.Reaksi Terhadap Tanam Paksa
          Tanam paksa mendapat reaksi yang cukup keras dari masyarakat.Reaksi ini datang dari Douwes Dekker dan Baron Van Howvel serta Frans Van De Putte .
1.Erdward Douwes Dekker (1820-1887)
          Erward Douwes Dekker adalah residen diLebak,Serang,Banten. Pada tahun 1860 beliau menulis buku Max Havelaar yang berisi tentang penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan tanam paksa.Dalam menulis buku tersebut ia menggunakan nama samaran yaitu Multattuli.
2.Baron Van Howvel(1812-1879) dan Frans Van De Putte
          Baron Van Howvel merupakan salah satu seseorang anggota parlemen negeri Belanda.Ia sempat beberapa tahun menetap di Indonesia yaitu di Batavia. Bersama dengan Frans Van De Putte ia menentang sistem tanam paksa lewat parlemen Belanda.Van De Putte menulis buku Suiker Contracten(Kontrak Gula).

4.Dampak Positif dan Negatif Tanam Paksa
1.Dampak Positif
    a.Pemerintah Belanda
          1.Pemerintah Belanda memperoleh surplus keuangan yang dapat
             digunakan untuk menjalankan Pemerintahan Hindia Belanda dan
             memperkaya Belanda.
          2.Uang kas Negara Belanda selalu penuh dan tidak pernah kosong.
          3.Badab Usaha Dagang Belanda (Nederlandsche Handles
             Maatschapipij) memperoleh keuntungan yang sangat besar setelah
             mendapat hak monopoli pengangkutan hasil tanam paksa.
     b.Bagi rakyat Indonesia
          1.Banyak rakyat Indonesia yang memperoleh pengetahuan soal
             tanam-menanam dan kualitas suatu tanaman.
          2.Rakyat mengetahui bahan yang bisa dijual dipasaran dunia
2.Dampak negatif dari sistem tanam paksa bagi bangsa Indonesia
          1.Banyak rakyat Indonesia yang meninggal karena kelaparan,dan sakit
              hingga banyak menimbulkan korban jiwa yang sangat besar
              terutama diPriangan.
          2.Bangsa Indonesia mengalami penderitaan lahir dan  batin.
          3.Munculnya demam berdarah akibat pembawaan bibit penyakit oleh
             Belanda untuk melenyapkan bangsa Indonesia yang menentang.
 
5.Penghapusan Sistem Tanam Paksa
          Sebagai akibat banyaknya reaksi yang muncul terhadap tanam paksa, Pemerintah Belanda mulai menghapusnya secara bertahap.Tekanan-tekanan yang dilontarkan bangsa Belanda untuk menghapus sistem tanam paksa terutama muncul dari kalangan liberal yang menganggap bahwa Belanda keterlaluan terhadap bangsa Indonesia dan dari pihak kerohanian yang menganggap Belanda tidak berperikemanusiaan. Selanjunya tanam paksa Lada dihapus pada tahun 1860,tanaman nila dan the diahpus pada tahun 1865.Secara keseluruhan tanam paksa dihapus pada tahun 1870.

6.Kesimpulan dari Tanam Paksa
           Tanam paksa adalah suatu aturan yang sengaja ditetapkan oleh Belanda untuk mengisi kekosongan kas Negara Belanda dari pembiayaan biaya perang melawan Belgia maupun di Indonesia,serta Karena hutang luar negeri Belanda.Namun,secara tidak langsung setelah diutusnya Van Den Bosch,maka ia menetapkan aturan-aturan tanam paksa yang ternyata adalah kebalikan dari aturan-aturan tanam paksa yang telah dibentuk sebelumnya diBelanda.Dengan dilakukannya penyimpangan-penyimpangan pada aturan-aturan tanam paksa mengakibatkan penderitaan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia karena banyak rakyat Indonesia yang meninggal dunia dan terserang penyakit pada saat tanam paksa dan membuat keuntungan yang sangat besar kepada Belanda karena dapat mengeruk kekayaan Indonesia untuk mengisi kekosongan kas Belanda bahkan Belanda mampu memperkaya dan memperindah diri.
          Jadi,intinya apabila bangsa Indonesia tidak melakukan perubahan pada aspek iptek , bangsa Indonesia akan tergilas bangsa lain dan dapat dibodoh-bodohi dan dimanfaatkan kelemahan Indonesia untuk keuntungan bangsa lain.Oleh karena itu,marilah kita sebagai Bangsa Indonesia bersama-sama mewujudkan Indonesia untuk tidak dapat lagi dibodoh-bodohi.






 
SUMBER PUSTAKA
1.Undang-Undang No.22 tahun 1834(hal.1) = Buku Sejarah, kelas  2 SMP,
   Yudistira.
2.Gambar Van Den Bosch (hal.3) = Buku IPS terpadu, kelas 2A,Erlangga
3.Volume ekspor gula,nila,dan kopi (hal.4) = Buku Sejarah, kelas  2 SMP,
   Yudistira.                                                          
4.Info Kita Bersama,Yemen (hal.5) = Buku Sejarah, kelas  2 SMP,
   Yudistira.                                                          
5.Reaksi terhadap tanam paksa (hal.6) = Buku IPS Modul 1,kelas 1,
   SMK,Yudistira.

DAFTAR PUSTAKA
1.Museum Kebangkitan Nasional.2007.Koleksi Museum Kebangkitan
   Nasional.Jakarta.
2.Poesponegoro,Marati,dan Nugroho.n.1993.Sejarah Nasional Indonesia 111
   dan IV.Jakarta :Balai Pustaka Depdikbud.
3.Siboro,J.1998.Dinamika Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.Bandung :
   Tarsito
4.Terry L.Smart.1987.World History,A Story of Progress.New York: Holt ,
   Rinehart and Winston Publishers.


Senin, 07 Mei 2012


Musik dan Nyanyian ???
Oleh: Ibnul Qoyyim Al Jauziah

Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma)
Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.
Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!
Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :
Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.
Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.
Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)
Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif
Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”
Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)
Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.
Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.
Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)
Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.
Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)
Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’
Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :
Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.
Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)
Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :
Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.
Dan yang lain, misalnya :
Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.
Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.
Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)
Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)
Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.
Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)
Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan
Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)
Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.
Dalil-Dalil Dari Al Qur’an
1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.
Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya. Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)
Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).
Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :
“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)
Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”
Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.
Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.
Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)
2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)
Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)
Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.
3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)
Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”
Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)
Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)
Dalil-Dalil Dari As Sunnah
1. Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)
2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :
“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)
3. Dari Anas bin Malik berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)
4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)
5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)
6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)
7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :
“Kulihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)
Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”
Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”
Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.
Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)
Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”
Dalam Kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian.Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.”Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak Saudaraku, jika Allah menunaikan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka dimanakah nyanyian itu berada?”
Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hati kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.”dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang yang bebas dan bersih dari dari puji-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yangmemabukan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan dan sebagainya. Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat.(Lihat Muntaqa Nafis halaman 305) Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol.Yang melakukan orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan. As Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan mengundang penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat .(Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306) Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318) Dalam kitab yang sama (halaman 318) disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat.Oleh karena itu kalau kamu tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”
Ad Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati danmendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)
Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kaun tanamkan pada pendidikan akhlaknya adalah benci kepada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan & kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”
Imam Abu Bakar Ath Thurtusi dalam khitbah (kata pengantar) kitabnya, Tanrimus Sima’, menyebutkan : (…… oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujah dari Al Quran dan As Sunnah.Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarjan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin.Allah ta’alla berfirman :
“Dan siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahannam sedangkan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An Nisa’ : 115) Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya.Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah ia dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib.Ketika beliau ditanya mengenai adanya rukhsah (keringanan) yang dilakukan sebagian penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”
Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’I, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal itu tidak diperselisihkan di kalangan mereka.Madzhab Imam Hanafi ini ini termasuk madzhab yang paling keras dan tegas pendapatnya dalam perkara ini.Hal ini ditunjukkan pula oleh sahabat-sahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik walaupun hanya ketukan sepotong ranting.Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan dan ditolak persaksiannya. Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengarkan musik dan nyanyian adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran.Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadist-hadist yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah saw. Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya.Hal itu pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu minta ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib).Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia untuk melakukan kewajiban ini.”
Kemudian Imam Ath Thurtusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’I dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan dan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada.Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya. Para sahabat Imam Syafi’I yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan alat musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’I) mengenai penghalalannya.Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib, Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh.Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah (Mawaridul Amman Muntaqa min Ighatsah Lahfan halaman 301)
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :
“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana) alat musik tiup, dan nyanyi-nyanyian apabila terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzab dan ulama-ulama muslim lainnya.Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia(Imam Syafi’I) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik). Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari sahabat-sahabat beliau adalah dalam permasalahan bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?” Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan para ulama madzab Syafi’I dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini.Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’I dan logis.Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan & bisa jadi pegangan.Maka siapa saja yg meneliti adanya perselisihan di kalangan para ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhsah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus ke dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)
Syaikh Ali Hasan Abdul hamid Al Atsari hafidhadullah mengomentari pernyataan-pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhsah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Amman halaman 303)
Diriwayatkan dari Imam Syafi’I secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya At Taghbir dan menghalangi manusia –dengannya—dari Al Quran.” (Juz ‘uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya ‘Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304) Ditambahkan pula oleh Abu Mansur Al Azhari (seorang Imam ahli lughah dan bermadzab Syafi’I , wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dalam syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan at taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54) Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan illahnya(alasan) karena menghalangi manusia dari Al Quran, padahal syair-syair itu mendorong untuk zuhud (tidak butuh) kepada dunia,para [penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau mendecakkan mulut sesuai dengan irama lagu, maka bagaimana ucapan beliau apabila mendengar nyanyian di jaman ini, at taghbir bagi beliau adalah bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan ?! Adapun madzab Imam ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah , putranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, tidaklah mengherankanku.” (lihat Mawaridul Aman 305) Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya.Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan.Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52) Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya.Maksudnya jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang telah membuktikan jeleknya kesehatan akalnya misalnya, menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah.Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan dengan jelas nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti pemabuk.Oleh sebab itu pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian (Muntaqa Nafis hal.307) Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman hal.320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman sahabat terhadap keadaan hati, amalan-amalanya dan sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya.Dan sungguh mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.” Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan.Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.” Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Quran dalam upaya pemahamannya dan pengamalannya.Karena sesungguhnya Al Quran dan al ghina’ tidak akan bersatudalam sebuah hati selamanya.Ya, karena keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dan bertolak belakang.Al Quran mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifahNya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan syahwat dan keinginan hawa nafsu serta sebab-sebab kesesatan lainnya.Al Quran juga melarang kita meniru dan mengikuti langkah-langkah syaithan .Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Quran .Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu , mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang dianggap menyenangkan.
Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan dan kecemerlangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Quran akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecemerlangan akalnya telah pula menjauhinya.Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini.Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Quran menjadi sesuatu yang berat baginya.Lalu ia (iman itu) berdoa kepada RabbNya : “Ya,Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuhMu dalam hati (dada) yang sama.”
Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah ia sembunyikan.Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepalanya, bahu dan menghentak-hentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.
Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran dan kebodohan.” Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila terus berlanjut akan menyebabkan Al Quran menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarkannya secara khusus. Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan dengan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnl Qayyim rahimahullah Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan batin (Mawaridul Aman hal. 322) Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan.Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-teranan sehingga dia jadilah orang yang durhaka.Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, maka jadilah ia orang yang munafik.
Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan RasulNya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian.Hatinya pun penuh dengan kejelekan dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai oleh Allah dan RasulNya.Inilah intinya nifak. Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan,perkataan dan perbuatan.Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat).Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Quran, sedangkan nifak adalah sebaliknya.Itu adalah perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’. Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah.Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :
“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit (An Nisa : 142) Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka.Dan, disamping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi.Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menatik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau dan sangat jelek.Inilah hakikat kemunafikan.Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu terasa kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.
Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan dirinya dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamya pengetahuan dan pemahaman para sahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.”  (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman 322-323) Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah Ta’ala.